Formasi 8 Hakim Mahkamah Konstitusi Apakah Penganut Judicial Activism atau Judicial Restrain Pemohon mendalilkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengadili hasil melainkan juga termasuk proses. Mahkamah Konstitusi sejatinya memutus berdasarkan undang-undang dasar dan keyakinan hakim.
Untuk itu harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi adalah beyond undang-undang. Walaupun jika dilihat dari rumusan Pasal 24 C UUD (original intent) keweanangan Mahkamah adalah sebatas hasil perhitungan suara, tapi persoalannya adalah Mahkamah juga harus memastikan sesuai atau tidaknya Pemilu dengan Pasal 22 E asas-asas PEMILU. Hal-hal yang sebenarnya vacuum harus diisi oleh Mahkamah, melakukan living constitution.
Ia dilakukan apabila ada sesuatu yang sangat mendesak yang mahkamah harus hadir (Futuristik). Hal ini kembali membawa kita pada pilihan antara judicial activism atau judicial restrain , lantas bagaimana posisi Mahkamah?
Adagium PEMILU adalah predictable in process, unpredictable in result. Semua penyelenggara akan terkait dengan waktu dan proses yang akan dilakukakan. Bagaimana kemudian menerapkan proses kepastian hukum ini dalam keadilan.
Di satu sisi bahwa mahkamah dapat melakukan antara judicial restrain, namun di sisi yang lain mahkamah juga dapat judicial activism. Apalagi mahkamah dibatasi oleh legal frame tertentu seperti menyelesaikan perselisihan ini dalam waktu 14 hari. Adalah suatu perdebatan yang tidak berujung dalam filsafat hukum ketika kita mencari keadilan dan kepastian hukum.
Kita tau dalam keadilan adalah konteks dari hukum itu sendiri, namun ketika kita berbicara soal penyelenggaraan negara kita tidak mungkin mencari sesuatu yang tidak berujung, namun kita harus mengambil keputusan. Untuk itu sekalipun Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 problematik, namun secara kepastian hukum putusan tersebut jelas sekali.
BACA JUGA : Melawan Lupa: Pilpres 2009 Paslon Megawati Prabowo (Mega-Pro) Vs # Asal Bukan Prabowo
Untuk itu kepastian hukum itu menjadi sangat penting apalagidalam sebuah kontestasi politik sebab ibi jus incertum ibi jus nullum (tidak ada kepastian hukum berarti tidak ada hukum), maka semua harus ada akhirnya (litis finiri oportet), yang mana merupakan peran MK untuk mengakhiri perkara-perakara yang banyak berkembang. Perkara harus selesai MK lah yang harus menyelesaikannya.
Adapun pilihan opsi hukum berdasarkan penalaran yang wajar bagi 8 Hakim MK adalah terbatas sebagai berikut: 1. Animous opinion, jika pandangan 8 Hakim bulat dan tidak terbelah; 2. Concurion opinion, jika pandangan 8 Hakim terbelah dalam alasan yang berbeda-beda tetapi sikap hukum putusan (diktum) seragam; 3. Dissenting opinion, jika pandangan 8 Hakim berbeda-beda baik alasan maupun sikap dalam diktum/amar putusan.
Mana yang lebih dominan diantara di antara mereka penganut judicial activism (menggunakan tafsir meluas) ataukah judicial restrain (menggunakan tafsir wewenang terbatas pada selisih suara signifikan terpilihnya calon).
Perjalanan intelektual 8 Hakim konstitusi begitu menentukan untuk menemukan jalan keluar dari kebuntuan sistemik di tengah arus kuat pemikiran hukum yang menuntut mahkamah tidak terbelenggu dalam hukum besi penjara norma (iron cage) dan melakukan penalaran kebenaran elastis (beyond positivism).
Semoga 8 Hakim MK tidak kehilangan daya kreativitasnya dengan tidak berpaku pada paradigma tunggal melainkan dengan menggunakan tafsir dinamis ius constituendum living konstitusional (cita hukum yang hidup dalam masyarakat dan kosntitusi).
Penulis adalah Ketua Umum PERADIN dan Asstafsus Bidang Hukum Wakil Presiden
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.