Radar Nusantara, Amerika Serikat – Randy Gardner, seorang remaja berusia 17 tahun asal San Diego, Amerika Serikat, mencatatkan namanya dalam sejarah sains pada akhir tahun 1963 ketika ia memutuskan untuk tidak tidur sama sekali selama 264 jam 24 menit atau setara hampir 11 hari penuh. Awalnya ini hanyalah proyek pameran sains sekolah menengah yang terdengar sederhana. Tidak ada niat menjadi sensasi dunia atau eksperimen berbahaya. Namun apa yang terjadi kemudian justru menjadi salah satu kasus deprivasi tidur paling penting dalam dunia medis.
Eksperimen ini dimulai pada 28 Desember 1963. Pada hari hari awal, Randy masih terlihat normal meski mulai kelelahan. Konsentrasinya menurun, matanya sulit fokus, dan refleks tubuh melambat. Dua temannya bertugas memastikan ia tidak tertidur dan mencatat setiap perubahan perilaku. Setelah beberapa hari, percobaan ini menarik perhatian media dan ilmuwan tidur ternama dari Stanford University, Dr William Dement, yang kemudian ikut mengawasi langsung jalannya eksperimen bersama seorang perwira medis Angkatan Laut Amerika Serikat. Sejak saat itu, pengamatan dilakukan secara serius dan terstruktur.
Memasuki hari ke 3 hingga ke 5, kondisi Randy mulai mengkhawatirkan. Ia mengalami gangguan memori jangka pendek, mudah tersinggung, dan sering lupa apa yang baru saja ia ucapkan. Bicara menjadi tidak jelas, koordinasi tubuh melemah, dan emosinya naik turun tanpa alasan yang jelas. Pada tahap ini, tubuhnya masih bertahan secara fisik, namun otaknya mulai menunjukkan tanda tanda kelelahan ekstrem.
Hari ke 6 hingga ke 9 menjadi titik kritis. Randy mulai mengalami paranoia dan halusinasi visual. Ia beberapa kali mengira benda mati sebagai makhluk hidup. Salah satu kejadian paling terkenal adalah ketika ia melihat rambu lalu lintas dan mengira itu adalah manusia yang sedang berdiri. Persepsinya terhadap realitas semakin kabur. Saat dilakukan tes kognitif sederhana seperti menghitung mundur dari 100 dengan pengurangan 7, Randy tiba tiba berhenti di angka 65 dan berkata ia lupa apa yang sedang ia lakukan. Otaknya seakan terputus dari proses berpikir normal.
Pada hari ke 11, kemampuan mental Randy berada di titik terendah. Rentang perhatiannya sangat singkat, ekspresi wajahnya kosong, dan ia kesulitan berkomunikasi. Meski demikian, pemeriksaan medis tidak menunjukkan kerusakan fisik permanen pada otaknya saat itu. Ini justru menjadi temuan penting bagi dunia sains bahwa kurang tidur ekstrem bisa melumpuhkan fungsi kognitif tanpa langsung merusak struktur otak.
Setelah eksperimen dihentikan pada 8 Januari 1964, Randy langsung dibawa ke fasilitas medis. Ia tertidur sekitar 14 jam tanpa henti. Setelah bangun, ia tampak pulih secara fisik dan mampu beraktivitas normal dalam beberapa hari. Pada saat itu, para peneliti menyimpulkan bahwa efek deprivasi tidur bersifat sementara.
Namun kisah ini tidak berhenti di sana. Puluhan tahun kemudian, dalam beberapa wawancara, Randy Gardner mengungkapkan bahwa ia mengalami insomnia kronis berat dalam jangka panjang. Ia sendiri meyakini pengalaman ekstrem di masa remajanya meninggalkan dampak psikologis mendalam, meski dunia medis tidak memiliki bukti klinis kuat untuk memastikan hubungan sebab akibat secara langsung.
Kasus Randy Gardner menjadi pelajaran besar bagi dunia medis dan masyarakat umum. Eksperimen ini menunjukkan bahwa tidur bukan sekadar waktu istirahat, melainkan kebutuhan biologis fundamental bagi otak manusia. Tanpa tidur, realitas bisa terdistorsi, emosi tak terkendali, dan kemampuan berpikir runtuh secara perlahan.
Karena risiko kesehatan yang serius, Guinness World Records akhirnya menghentikan pencatatan kategori rekor tidak tidur. Keputusan ini diambil untuk mencegah orang lain meniru tindakan berbahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.













