Radar Nusantara. KUDUS- Nuansa keilmuan terasa di Ruang Serbaguna kampus 1 Universitas Muhammadiyah Kudus ( UMKU ) pada Selasa 20 Februari 2024 M, 10 Syakban 1445 H. Sekitar 150 peserta terdiri dari dosen dan mahasiswa memenuhi acara bedah buku yang berjudul “Dilema Purifikasi Muhammadiyah antara Progresivisme dan Konservatisme.
Rektor Universitas Muhammadiyah Kudus Dr. Edy Soesanto dalam sambutannya mengapresiasi panitia dan penerbit Suara Muhammadiyah.
“Kegiatan mimbar akademik (bedah buku) ini sebagai forum penguatan literasi para akademisi dan juga mahasiswa dalam konteks pemikiran Islam”, ujar Rektor UMKU.
Menurutnya, Buku karya Kiai Tafsir menggambarkan wajah Muhammadiyah yang ramah, sudah semestinya budaya dan agama berjalan beriringan. Karena sejarah masuknya Islam di Indonesia juga sarat dengan budaya yang humanis
BACA JUGA : UMKU Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir Demak
Direktur Media dan Publikasi Suara Muhammadiyah Isngadi Marwah Atmadja mengatakan , “Kelahiran Muhammadiyah itu dalam rangka Mempermudah umat Islam menjalani kehidupan, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, bukan sebaliknya mempersulit dan serba tidak diperbolehkan dan memberatkan”.
Ia menambahkan bahwa kelahiran Muhammadiyah dalam rangka memudahkan, menampilkan wajah dakwah yang luwes, menggembiarakan dan mudah.
Sementara Riska Himawan sebagai pembedah menyimpulkan, buku ini berisi pilihan dakwah yang problematik. Purifikasi yang ditekankan lebih bersahabat dengan budaya. Nilai yang ada di dalam budaya yang perlu disentuh sesuai ajaran islam, namun budayanya tetap dilestarikan sepanjang masih bisa ditoleril agar dakwahnya tetap terasa lembut dan lebih humanis.
Menarik apa yang disampaikan penulis, Kiyai Tafsir menjelaskan, bahwa Muhammadiyah lahir bukan merubah dalil, tapi hanya merubah cara pandang yang lebih progresif dengan konsep tajdidnya.
BACA JUGA : Chika Caterina Mahsiswa UMKU Raih Juara 1 Biologi Fun Competition
Sebagai contoh, Tafsir menyebutkan, bahwa dulu anak pesantren / pondok identik dengan penyakit kulit (gudik). Hal ini terjadi karena cara pesantren memandang sebuah dalil. Salah satu dalilnya adalah “dalam air dua kulah (kolam) maka di situ tidak ada najis.”
Sementara dalam hal air suci ini, Muhammadiyah melakukan tajdid sehingga lahirlah air wudhu dari kran. “Dua kulah itu ada dalilnya dan suci, tapi kran selain suci juga sehat. Itulah contoh tajdid ilmu agama beriringan dengan ilmu kesehatan,” terang Tafsir.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.