Dengan arti lain bahwa sistem yang konon transparan itu sendiri justru banyak
mengandung “error teknologi” selain juga masih memungkin diskriminasi terhadap perwakilan perempuan.
Faktor lain adalah bukan rahasia lagi bahwa proses pencalonan penyelenggara dan pengawas kerap
dipengaruhi atau dilobby jauh-jauh hari sebelum Pemilu itu sendiri, oleh pihak-pihak yang kemudian akan
mempunyai kepentingan dalam Pemilu itu sendiri.
Sejauh mana perempuan dalam posisi untuk bisa me lobby seperti itu perlu dipertanyakan.
Kesan kolusi calon dan penyelenggara, atau adanya “hutang budi” sistemik antara penyelenggara dan
calon di masa sebelumnya yang mengurangi kredibilitas pengawas dan penyelenggara yang imparsial. Seperti
juga dalam konteks terkait kemiskinan, ketidakadilan yang umumnya akan pertama dan utamanya merugikan
perempuan, demikian juga proses ini menjadi hambatan lebih besar pada Kebijakan Afirmasi Keterwakilan
Perempuan.
Untuk itu, menurut saya pribadi mengingat sistemnya sudah cenderung tidak “JURDIL” sehingga “TIDAK
PRO PEREMPUAN”, hanyalah Petinggi Partai yang bisa intervensi untuk memastikan bahwa calon legislator
perempuan-perempuan kompeten tetap bisa lolos dari lubang jarum.
Khususnya dalam hal di suatu Dapil sudah jelas dapat dimenangkan lebih dari satu kursi maka
sewajarnya, perempuan diijinkan dalam rangka Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan untuk menduduki
kursi tersebut dan tidak hanya dikaitkan siapa yang mendapatkan “kursi terbanyak”.
BACA JUGA : Syukuran Relawan Partai UKM, H Bustan Pinrang: Kita Syukuri Kemenangan Prabowo Gibran Untuk Indonesia Maju
Kebijakan Afirmasi yang ada harus lebih berani menempatkan perempuan sebagai wakil rakyat, karena
dengan sistem yang membingungkan pemilih, belum tentu dari suara murni menghasilkan “wisdom” dari pemilih.
Harusnya Petinggi Partai yang paling memahami apa yang dibutuhkan konstituen suatu Dapil guna kemajuannya di lima tahun mendatang.
Berbagai indikasi praktek kurang sehat dari kekisruhan penghitungan suara, indikasi hutang budi
penyelenggara pada calon tertentu, dan juga suatu pengkondisian secara sistemik di Pemilu 2024, berpotensi
menurunkan afirmasi keberadaan perempuan di parlemen.
Berdasarkan hasil Pemilu 2019 keberadaan legislatif
perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia baru mencapai 120 anggota dari 575 anggota DPR
RI atau 20,8% dari kuota afirmasi 30%. Semoga di Pemilu 2024, representasi perempuan khususnya bagi partai
yang berhasil mendapatkan simpati rakyat sebagai Juara I, II, III dapat membuktikan keberpihakannya kepada
caleg perempuan yang kompeten di bidang legislasi dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas legislasi
agar lebih pro-perempuan untuk 5 tahun ke depan.
Petinggi Partai yang menjadi pemenang Pemilu 2024 harus
memberikan contoh untuk lebih melaksanakan Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan secara progresi
(Edo Lembang)
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.