Radar Nusantara, Bandung – Di balik riuhnya peluru dan bara perlawanan dalam Perang Jawa (1825–1830), tersembunyi kisah tak biasa tentang seorang perwira Belanda bernama Kapten Johan Jacob Roeps. Ia bukan sekadar prajurit Kerajaan Belanda yang dikirim menjinakkan perlawanan bumiputra, tapi juga menjadi sosok yang dihormati bahkan dipercayai oleh musuh terbesar pemerintah kolonial: Pangeran Diponegoro.
Kapten Roeps lahir pada 1 Januari 1805 di Den Haag, lalu menginjakkan kaki di Tanah Jawa saat usianya baru menginjak sebelas tahun, mengikuti jejak sang ayah yang bertugas sebagai pembantu letnan militer di Hindia Belanda. Namun nasib mempertemukannya dengan tanah dan budaya Jawa jauh lebih dalam dari sekadar tugas militer: ia diasuh oleh pembantu rumah tangga orang Jawa. Bahasa dan adat setempat meresap ke dalam darah mudanya, membentuknya menjadi sosok yang akrab dengan dunia pribumi.
Kemahirannya berbahasa Jawa dan Melayu kelak menjadi senjata paling ampuh, bukan hanya dalam medan perang, tetapi juga dalam ranah diplomasi dan penyelidikan. Setelah lulus dari akademi militer di Semarang pada usia 18 tahun, Roeps langsung terjun dalam ekspedisi militer, termasuk ke Bone (1824–1825), dan kembali ke Jawa saat Perang Jawa pecah.
Tugas utamanya bukan hanya bertempur, tapi juga “memahami musuh” dari dalam. Ia ditempatkan dalam pasukan gerak cepat yang ditugaskan langsung oleh Letkol Joseph Le Bron de Vexela. Prestasi gemilangnya datang ketika ia berhasil menangkap Kiai Mojo, penasihat spiritual Diponegoro, pada tahun 1828. Keberhasilan ini membuat pangkatnya naik menjadi Kapten.
Namun, yang paling menarik bukan soal pangkat dan kemenangan, melainkan jalinan relasi antara Roeps dan Diponegoro. Sebelum perang pecah, keduanya sempat beberapa kali berdialog. Bahkan dalam perbincangan mereka yang terekam sejarah, ketika Sultan Hamengkubuwono IV wafat secara misterius dengan tubuh membengkak, Roeps dengan tenang menyimpulkan, “Kalau begitu, ia pasti diracuni.” Diponegoro menanggapi tanpa ragu, menyebut nama Patih Danurejo IV sebagai orang yang menyuguhkan makanan terakhir sang Sultan.
Kedekatan ini yang membuat Jenderal De Kock, sang panglima tertinggi Hindia Belanda, memilih Roeps untuk menjadi salah satu perwira yang bertugas menggali informasi langsung dari Diponegoro. Dalam perundingan-perundingan di Magelang, Roeps menjadi jembatan komunikasi antara dua dunia yang berseteru hebat.
Kapten Roeps dikenal tenang, berani, dan bersahaja. Semboyannya adalah semper idem “selalu sama”. Ia bukan tipe militer yang menindas rakyat, melainkan memahami mereka. Sayangnya, ajal menjemputnya terlalu cepat. Pada 23 Maret 1840, dalam pertempuran melawan pasukan Aceh di Barus, Sumatera, ia terluka parah dan meninggal dalam usia 35 tahun. Malam sebelum kematiannya, ia sudah berkata pada rekannya bahwa ia merasakan ajal tengah menunggu.
Kapten Roeps bukan hanya perwira, ia adalah penghubung dua dunia: antara kekuasaan kolonial dan bumi pertiwi yang sedang berontak. Di mata Diponegoro, ia bukan musuh, tapi teman berdiskusi. Di mata Belanda, ia adalah alat intelijen. Namun dalam sejarah, ia akan dikenang sebagai sosok langka penjajah yang memahami tanah yang ia jajah.