Tak ada larangan itu di Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, dan banyak negara lain. Yang tak dilarang oleh konstitusi mengapa pula dilarang oleh opini publik?
Apalagi pada akhirnya, penentuan terpilih atau tidaknya seorang pemimpin ada pada pemilihan umum. Rakyat menjadi hakim tertinggi melalui kotak suara.
Contoh sederhananya di keluarga Bung Karno sendiri. Ketika Megawati memimpin PDIP, rakyat membesarkan PDIP. Tapi ketika anak Bung Karno lain membuat partai yang lain, Sukmawati, juga Rahmawati, rakyat tak memilihnya. Dua partai lain, sama-sama didirikan Putri Bung Karno, gagal.
Juga kita juga melihat contoh keluarga Pak Harto. Tommy Soeharto mendirikan Partai Berkarya, partai itu pun hilang, tak lagi punya peran signifikan, karena rakyat tidak memilihnya.
BACA JUGA : Perencanaan Kota yang Terintegrasi dan Kepemimpinan yang Berintegritas, Kasus Kota Cirebon
Jika Gibran menjadi calan wakil presiden Prabowo, rakyat pula yang akan menjadi penentu.
Memang Gibran potensial membawa pemilih gerbong suara generasi milineal yang hampir 50 persen populasi pemilih itu.
Gibran juga potensial mengurangi suara Ganjar di Jawa Tengah. Dan potensial menarik pemilih yang mayoritas masih puas dengan kinerja Jokowi sebagai Presiden.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.