Radar Nusantara, Garut – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa sistem perizinan tambang dan pengelolaan kekayaan alam di Indonesia perlu dirombak total. Ia menyampaikan bahwa selama ini negara terlalu longgar memberikan izin, baik kepada perusahaan yang sudah lama beroperasi maupun yang baru akan memulai usaha di sektor sumber daya alam.
Baik perusahaan yang sudah beroperasi maupun yang baru akan berdiri, kata Haidar Alwi, semuanya harus tunduk pada sistem baru: kesejahteraan rakyat sebagai ukuran utama. Ia mendorong diterapkannya sistem Kontrak Berbasis Indeks Kesejahteraan (KBIK) sebagai syarat mutlak dalam setiap izin pengelolaan sumber daya alam, mulai dari tambang nikel, emas, batubara, pasir kuarsa, bauksit, timah, migas, geothermal, perikanan tangkap, hingga perkebunan sawit industri.
Menurut Haidar Alwi, banyak izin diberikan tanpa evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya terhadap masyarakat lokal. Padahal, kata dia, pembangunan yang sesungguhnya hanya terjadi ketika rakyat di sekitar proyek ikut maju.
“Kita tidak bisa lagi menilai keberhasilan hanya dari pertumbuhan ekonomi atau jumlah investasi asing. Di balik itu, banyak warga sekitar proyek tambang yang hidup dalam kemiskinan, lingkungan rusak, dan air bersih langka. Itu bukan kemajuan, tapi tragedi berulang,” ujarnya.
Setiap perusahaan yang baru akan mendirikan usaha wajib menyusun Rencana Indeks Kesejahteraan Masyarakat (RIKM) secara detail sebagai bagian dari dokumen perizinan. RIKM ini harus memuat komitmen nyata terkait penurunan kemiskinan lokal, penciptaan lapangan kerja, peningkatan layanan dasar seperti sekolah dan air bersih, serta perlindungan ekologis.
Sementara itu, bagi perusahaan yang mengajukan perpanjangan izin, pemerintah wajib melakukan evaluasi berbasis data riil. Evaluasi tersebut harus dilakukan oleh lembaga independen yang tidak berada di bawah kementerian atau pejabat yang rawan konflik kepentingan. Audit harus mencakup aspek kesejahteraan, seperti angka pengangguran lokal, tingkat gizi anak, serta kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar tambang.
“Jika setelah lima tahun beroperasi tidak ada perubahan signifikan bagi masyarakat, maka izin harus dicabut. Negara tidak boleh kompromi dengan perusahaan yang hanya menimbulkan kerusakan,” tegas Haidar Alwi.
Data dari BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 58 persen desa di sekitar wilayah tambang besar masih kekurangan akses air bersih, dengan angka kemiskinan yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem izin selama ini lebih menguntungkan korporasi dibandingkan rakyat.
Haidar Alwi juga menekankan pentingnya kontrak sosial sebagai bagian dari legalitas. Perusahaan harus menandatangani kesepakatan tertulis dengan masyarakat lokal yang berisi transparansi pendapatan, pembagian manfaat, hingga hak veto terhadap aktivitas eksplorasi ekstrem.
“Jika kesejahteraan rakyat tidak menjadi dasar hukum perizinan tambang, maka seluruh pembangunan hanyalah mitos di atas penderitaan,” katanya.
Pemerintah pusat, lanjut Haidar Alwi, harus memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam menilai dan memutus nasib kontrak usaha di wilayahnya. Pemerintah daerah tak boleh lagi hanya menerima limbah, konflik sosial, dan tekanan, sementara keuntungan terserap di pusat.
Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Haidar Alwi menilai kebijakan ini dapat menjadi pijakan strategis. Menurutnya, jika Presiden Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin pro-rakyat dan pro-kedaulatan, maka sistem perizinan berbasis kesejahteraan rakyat ini harus diadopsi.
“Kalau izinnya merusak dan menyengsarakan, maka yang kita beri ruang bukan investasi, tapi penjajahan berganti bendera,” tegasnya.
Jika diterapkan, sistem Kontrak Berbasis Indeks Kesejahteraan akan menciptakan kontrak yang berpihak pada rakyat, mendorong tanggung jawab perusahaan secara sosial dan ekologis, serta melahirkan model pembangunan yang berakar kuat di daerah.
Haidar Alwi menyimpulkan bahwa masa depan Indonesia sangat bergantung pada keberanian negara menata ulang relasi antara kekuasaan, rakyat, dan kekayaan alam. Jika itu gagal dilakukan, maka bangsa ini akan terus membayar harga mahal dari pertumbuhan yang semu.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.