Oleh: Andre Vincent Wenas
Radar Nusantara, Bandung – Kita bayangkan, 200 trilun dicanangkan untuk mengungkit perekonomian nasional, yang sekarang sekitar 5,12 persen menjadi 6 persen, membuka jalan terang ke pertumbuhan 8 persen seperti yang diharapkan Prabowo-Gibran dalam kampanyenya.
Ini bukan rencana, tapi duitnya sudah “nongkrong” sejak 12 September 2025 di bank-bank Himbara. Sudah dieksekusi, artinya dipindahkan dari rekening pemerintah di Bank Indonesia ke rekening bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara): BRI, BNI dan Bank Mandiri masing-masing 55 triliun rupiah dan BTN 25 triliun serta BSI sebesar 10 triliun rupiah, sesuai KMK No.276 tahun 2025.
Benar kata Menkeu, ini bikin pusing direksi Himbara. Tapi bukankah jauh lebih baik pusing karena banyak kerjaan ketimbang pusing gegara nggak ada kerjaan, alias nganggur.
Pertanyaanya, apakah dana ini gratis? Tentu tidak gratis. KMK No.276 tahun 2025 itu menetapkan imbal hasil sebesar 80,476 persen dari suku bunga acuan Bank Indonesia, artinya pemerintah dapat imbalan bunga 4 persen. Maka dengan BI rate saat ini di level 5 persen, pemerintah berhak mengantongi bunga 4 persen dari deposito tersebut atau setara Rp 8 triliun per tahun.
Smart move! Burden-sharing dalam arti bagi-bagi beban pikiran ke masing-masing dewan direksi Himbara, ikut urun rembug memikul beban pikiran pemerintah. Bukankah dewan direksi Himbara dan tim eksekutifnya adalah kumpulan orang-orang kompeten yang bisa diandalkan? Kiprah mereka sudah teruji selama ini. Kita tunggu saja kiprah mereka.
Patut dicatat penegasan Menkeu, bahwa penempatan dana negara ini bukan hanya aman, tetapi juga mendorong bank untuk menyalurkan kredit ke masyarakat. Ia optimistis langkah ini dapat menggerakkan kembali perekonomian yang sedang lesu. Pertanyaan lanjutannya, “menyalurkan kredit ke masyarakat”, masyarakat yang mana?
Ingat, duit stimulus 200 trilun berasal dari kas pemerintah yang mesti standby kapan saja diperlukan, maka Menkeu Purbaya telah memastikan skema deposito “on call” memungkinkan pemerintah menarik dana sewaktu-waktu, namun ia juga berjanji tidak bakal tiba-tiba saja menarik seluruh (200 triliun) supaya tidak mengagetkan dan mengguncang sistem perbankan nasional.
Setelah membagi beban pikiran ke Tim Bank Himbara, maka fokus perhatian bisa mulai diarahkan ke peran intermediasi perbankan. Apa yang bakal dikerjakan oleh BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN dan BSI? Jangan sampai terjadi deviasi yang terlalu lebar dari intensi baik pemerintah untuk memulihkan roda perekonomian nasional yang akhir-akhir ini dirasa tersendat.
Dana 200 triliun ini ibarat “leverage-point” yang bisa mengungkit pertumbuhan dari sekitar 5,12 persen bisa naik ke kisaran 6 persen dan nantinya bakal membuka jalan ke pertumbuhan 8 persen. Apakah bisa terus ke tingkat pertumbuhan “double-digit” seperti yang dicontohkan negara-negara seperti Jepang, Korea dan China dulu saat mereka mau mentas jadi negara maju, lepas dari jebakan “middle-income trap”.
Tingkat pertumbuhan 5,12 persen itu diperoleh dari konsumsi sekitar 2,8 persen, lalu investasi sekitar 1,53 persen, surplus ekspor di kisaran 0,05 persen dan belanja pemerintah sekitar 0,72 persen. Total 5,12 persen. Memang banyak perdebatan mengenai keabsahan angka ini oleh beberapa pengamat yang kritis, tapi biarlah itu menjadi referensi akademis dulu.
Gelontoran dana 200 triliun oleh pemerintah ke bank Himbara dimaksudkan agar terjadi dorongan ekonomi terutama di aspek investasi, lalu importasi barang-barang modal dan ekspor yang banyak. Titik tekan pemerintah adalah ada para pelaku UMKM yang merupakan 99 persen unit usaha atau pelaku ekonomi.
Data di laman Kadin yang mengutip Kementerian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ada sekitar 30,18 juta unit UMKM yang tercatat di Indonesia sampai 31 Desember 2024. Namun, jumlah ini belum mencakup UMKM dari sektor usaha pertanian dan perikanan.
Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sensus Pertanian 2023, jumlah UMKM Pertanian dan Perikanan mencapai 29,34 juta unit dimana 99 persen merupakan usaha pertanian perorangan. Jadi total pelaku UMKM yang terdata ada 59,52 juta unit usaha.
Untuk membiayai (financing) sektor UMKM dibutuhkan kerja keras dan ketekunan luar biasa. “The devil is in the detail”, mengurusi 1 persen pelaku ekonomi di kantor-kantor ber-AC tentu lebih “nyaman” ketimbang berurusan dengan 99 persen pelaku ekonomi UMKM di seantero Nusantara, lokasinya perlu ditempuh dengan keringat dan air mata.
Sekedar mengingatkan, yang dikategorikan sebagai UMKM pada dasarnya berdasarkan besarnya modal usaha saat pendirian. Bila modal usahanya mencapai maksimal satu milyar rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha), maka dikategorikan kelas Usaha Mikro.
Usaha dengan modal usaha lebih dari satu milyar rupiah sampai dengan lima milyar rupiah masuk dalam kelas Usaha Kecil. Usaha dengan modal usaha lebih dari lima milyar rupiah sampai dengan sepuluh milyar rupiah masuk dalam kelas Usaha Menengah. Lebih besar dari ini maka menjadi kelas Usaha Besar.
Begitulah, jangan sampai duit stimulus pemerintah ini malah disalurkan ke konglomerat hitam yang dengan gampang diparkir di bank-bank miliknya sendiri atau terafilisasi dengannya. Belum lagi praktek “side-streaming” dimana para konglomerat hitam ini sudah amat ahli dalam menyiasatinya bersama para kompradornya.
Kita fokus saja pada upaya untuk membalikkan kondisi lesu menjadi bergairah kembali. Ketimbang sibuk menamai gerak ekonomi ini mengikuti ajaran Milton Friedman atawa John Maynard Keynes. Ikuti saja pesan Deng Xiao Ping yang bilang “It doesn’t matter if a cat is black or white, as long as it catches mice”.
Menteri Purbaya Yudhi Sadewa pun sudah mengingatkan, jangan terlalu percaya sama orang-orang IMF. Kita juga ingat anjuran Ha-Joon Chang (bukunya: “Bad Samaritans: The Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism”), jangan juga “terlalu” percaya dengan bantuan (atau asistensi) dari lembaga-lembaga (donor) internasional yang kerap berperan sebagai “Bad Samaritans” ketimbang “orang Samaria yang baik hati”.
Kita terus upayakan, agar daya ungkit 200 triliun rupiah dari Purbaya Yudhi Sadewa, bisa membalikkan perekonomian yang lesu jadi lebih bergairah. Ingat, the devil is in the detail, ada di 59,52 juta pelaku ekonomi mikro, kecil dan menengah.
Jakarta, Selasa 16 September 2025
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.