Oleh: Andre Vincent Wenas
Radar Nusantara, Bandung – Hasto dituntut 7 tahun plus denda Rp 600 juta plus bayar ongkos perkara Rp 7500,-. Perjalanan panjang sejak ia ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Desember 2024. Lalu resmi ditahan sebagai napi korupsi (tahanan KPK) pada 20 Februari 2025. Sampai akhirnya Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaannya pada 3 Juli 2025 kemarin. Jadi sudah 6 bulan lebih sejak ia ditetapkan sebagai tersangka akhir tahun lalu, atau menjelang malam Natal.
Selanjutnya adalah giliran tim pembela Hasto yang akan membacakan pledoi (pembelaannya). Drama soal dokumen-dokumen yang “diamankan” di Russia dan bukti video-video yang katanya bisa membongkar banyak skandal sudah tidak jelas nasibnya. Mati angin, tak ada gaungnya lagi.
Upaya-upaya pengalihan isu seperti soal ijazah palsu UGM yang bergeser jadi ijazah “made in pasar Pramuka” sudah mendekati ambang akhir. Roy Suryo, Rismon, Tifa dan Rizal Fadilah sedang menunggu giliran disidangkan. Eggi Sujana malah ngacir, entah kemana. Tak punya nyali ternyata.
Lalu isu pemakzulan Gibran pun dimainkan. Untunglah Jenderal (Purn) Try Sutrisno “diselamatkan” Presiden Prabowo Subianto. Try Sutrisno dihadirkan pada acara Halal Bihalal purnawirawan TNI dan Polri pada 6 Mei 2025 lalu di Balai Kartini. Ini forum resmi para purnawirawan.
Padahal sebelumnya pada 17 April 2025 nama Try Sutrisno tercantum dalam pernyataan kontroversial Forum Purnawirawan Prajurit TNI dalam suatu acara Silaturahmi di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka mengusulkan kepada MPR RI untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Begitu salah satu delapan tuntutannya.
Untunglah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bersikap arif dan bijaksana. Tidak reaktif, dan sama sekali tidak merespon ulah para purnawirawan yang terkesan frustrasiitu. Sebaliknya Wapres Gibran malah denga sopan menyalami mantan pendahulunya itu pada kesempatan pertemuan berikutnya. Try Sutrisno pun terlihat senyum-senyum saja.
Dalam deklarasi Forum Purnawirawan Prajurit TNI kemarin, nama Try Sutrisno sudah raib. Cuma para mantan yang terkesan frustrasi itu yang masih muncul. Misalnya saat forum itu menyelenggarakan konferensi pers pada Rabu, 2 Juli 2025, hadir diantaranya, mantan Wakil Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, eks Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dan mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Mayjen (Purn) Soenarko.
Di acara itu mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto yang angkat bicara dengan nada keras. Ia menyampaikan ancaman serius bahwa Forum Purnawirawan Prajurit TNI akan menduduki MPR jika pendekatan secara sopan melalui surat agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dimakzulkan, tidak kunjung direspons DPR. Waduh kok keras, bahkan cenderung main kasar ini.
Kata mantan KSAL itu, “Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, enggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa. Kita duduki MPR Senayan sana. Oleh karena itu, saya minta siapkan kekuatan.” Minta kepada siapa? Tidak jelas.
Argumentasi yang disampaikan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto terdengar serampangan. Ia menyinggung kondisi bangsa yang akan berada di ujung tanduk apabila masih dipimpin oleh Wapres Gibran. Kemudian mendesak seluruh elemen masyarakat untuk bergerak menyelamatkan negara.
Katanya, “Negara kita memang berada di ujung tanduk, masih ada atau hancur. Oleh karena itu, mau enggak mau, kita semua harus bergerak untuk menyelamatkan bangsa ini.” Nampaknya ia kecewa lantaran surat yang mereka layangkan ke DPR tidak mendapat respon seperti yang mereka harapkan.
Lantaran tak ada tanggapan ia bahkan menyebut DPR tidak sopan memperlakukan purnawirawan TNI. “Surat-surat yang sudah kita sampaikan, kita masih sopan, tapi mereka kelihatannya enggak sopan, enggak dijawab. Oleh karena itu, kita enggak perlu menunggu lagi, kalau perlu kita selesaikan secara jantan. Mau enggak mau harus gitu,” pungkas Slamet Subijanto. Kok seperti ngajak kelahi Pak.
Aneh ulah para mantan ini. Setelah mantan Wapres Try Sutrisno “diselamatkan” Presiden Prabowo Subianto, dan Wapres Gibran Rakabuming Raka bersikap elegan dengan terus giat menjalankan perannya, maka tak ada yang perlu dirisaukan lagi. Anjing boleh terus menggonggong, kafilah akan tetap berlalu (berjalan maju).
Sementara sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menuntaskan pembacaan dakwaan terhadap Hasto Kristiyanto, justru mantan Presiden Joko Widodo sedang bergembira ria bersama cucu-cucu tercinta di pantai Bali.
Suasana liburan yang menyenangkan versus suasana sidang yang menegangkan berlangsung pada saat yang hampir bersamaan. Kontras suasana yang bisa mengadung makna tertentu. Para ahli semiotika mungkin bisa membantu kita untuk menginterpretasikan dua fenomena yang kontras ini.
Kita dipertontonkan selama beberapa bulan proses persidangan berjalan, setiap habis sidang Hasto bersama Tim Pembelanya setia untuk memberikan konperensi pers. Ditambah para “TerHas” (Ternak Hasto) dengan sangar berteriak-teriak tidak karuan. Sementara Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK tidak pernah berkomentar apa-apa dan fokus pada penuntutannya. Sebuah kontras yang juga menarik untuk ditelisik semiotikanya.
Tambah lagi pengacara senior Todung Mulya Lubis (salah satu anggota tim pembela Hasto) juga ikut-ikutan berkomentar,
Anehnya, ia yang mengaku sebelumnya sangat yakin kalau Hasto akan dituntut bebas, namun yang terjadi malah di luar nalar hukum.
Katanya kepada awak media yang mengerumuninya, “Saya datang dalam sidang ini sebetulnya untuk mendengar tuntutan bebas, bukan 7 tahun.” Pada konpers Kamis 3 Juli 2025 itu Todung berdalih JPU pada dasarnya bisa meminta Hasto dibebaskan lantaran tak ada satu pun alat bukti yang cukup untuk menghukum Hasto.
Ini aneh lagi, sampaikan saja pernyataan itu dalam bantahan pledoi-nya, tidak guna menggiring opini publik lewat konpers-konpers yang sama sekali tidak simpatik lantaran meminta JPU untuk membebaskan Hasto. Mengabulkan tuntutan JPU atau malah nanti membebaskan Hasto adalah tugas majelis hakim.
Kembali soal daur ulang yang diulang-ulang lagi, Hasto kembali menyebut-nyebut soal kriminalisasi, daur ulang, sudah inkracht, dan seterusnya. Todung menyebut tuduhan JPU seperti menegakkan benang basah. Perkaranya sudah selesai (inkracht) pada peradilan sebelumnya, dan tidak ada keterlibatan Hasto sama sekali. Akhirnya tuntutan 7 tahun terhadap Hasto dimana penyidik bisa menjadi saksi itu adalah cerminan peradilan yang sesat, ini tragedi keadilan. Ini sesat pikir karena faktanya majelis hakim mengijinkannya, dan tim pembela Hasto pun ikut melakukan “cross-examination” atau boleh ikut menanyai.
Ujungnya kita hanya bisa mengutip pernyataan standar Hasto sendiri, supaya dianggap telah merespon tuntutan JPU yang menuntut 7 tahun penjara plus Rp 600 juta plus bayar ongkos perkara Rp 7.500,- dengan mengatakan:
Ok, sip!
Jakarta, Jumat 4 Juli 2025
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.