Radar Nusantara, Surabaya – Hari-hari ini, kita diperlihatkan dengan kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja. Kondisi tersebut ditandai oleh banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, serikat pekerja (buruh), dan aliansi masyarakat sipil. Aksi massa tersebut dipicu oleh adanya wacana mengenai rancangan kenaikan tunjangan DPR yang kontradiktif dengan kinerja mereka. Hal tersebut memicu kemarahan warga sipil dengan ekspresi turun ke jalan melakukan unjuk rasa dimulai dari tanggal 25 Agustus-1 September. Banyak korban berjatuhan, tercatat sudah ada sembilan korban meninggal dunia yang disebabkan oleh represifitas aparat kepolisian. Namun dalam kejadian ini justru respon yang dimunculkan oleh Presiden Republik Indonesia ialah, menuduh aksi massa sebagai bagian dari pihak asing yang mencoba memecah-belah bangsa. Kita semua tahu bahwa Indonesia sedang berada ditahap pembangunan masif menuju ulang tahun emas 2045. Namun, tidak tepat rasanya ketika proses menyuarakan kritik kepada pemerintah disebut makar. Karena, kebebasan dalam mengemukakan pendapat di muka publik telah dijamin oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 dan itu merupakan bentuk komitmen reformasi yang harus dijaga hingga saat ini.
Dalam catatan sejarah telah diceritakan bahwa Nasionalisme radikal akan menimbulkan Ideologi ekstrem yang dikenal sebagai Fasisme. Fasisme merupakan bentuk dari Nasionalisme yang berlebihan dan cenderung fanatik. Fasisme dicirikan brutal terhadap hak kemanusiaan, kekuasaan yang hanya berada di lingkaran elit, dan cenderung membenturkan antara kepentingan negara dengan keberagaman dan perbedaan. Selain itu, ciri lain dari Fasisme ialah pemerintahan non opisisi. Dari keempat unsur tersebut nampaknya sudah sangat jelas melekat pada rezim saat ini. Fasisme juga identik dengan tipe kepemimpinan militeristik, setidaknya terdapat dua tokoh yang menjadi simbol dari paham fasisme yakni Benito Mussolini dan Adolf Hitler yang di mana, mereka sangat bengis dan kejam kepada rakyatnya dan hal tersebut tentu tidak kita inginkan.
Dengan memperhatikan apa yang telah terjadi kemarin, kita dapat menganalisis kondisi sosial dan psikis masyarakat. Salah satu fenomena yang dapat kita amati ialah pembakaran gedung-gedung DPRD di beberapa kota/kabupaten, penjarahan rumah anggota dewan/menteri, dan perusakan fasilitas umum. Dari ketiga peristiwa itu rasanya, sudah menjadi konsekuensi dari apa yang ditimbulkan oleh anggota dewan secara perseorangan maupun DPR RI secara kelembagaan yang telah menyalakan api di tumpukan jerami. Selain daripada peristiwa demonstrasi akhir-akhir ini, beberapa fenomena lainnya juga dapat kita amati seperti, pengesahan UU TNI dengan penambahan wewenang, slogan “persatuan” yang selalu diserukan, di tambah lagi dengan narasi “jangan mau di pecah belah oleh pihak asing” dan beberapa fenomena lain termasuk perusakan tempat ibadah. Hal yang paling mengerikan dan tidak diinginkan adalah ketika semua fenomena dan peristiwa tersebut berujung pada darurat militer. Sehingga, itu benar-benar menjadi bukti bahwa selama ini, Nasionalisme itu adalah balutan jubah yang menutupi sebuah paham yakni, Fasisme.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.